“Pak, saya berniat berhenti dari pekerjaan ini,” kata Mardi. “Saya sudah tidak seperti dulu lagi. Fisik saya sudah jauh melemah. Sudah saatnya saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga.”
Bambang tercenung. Mardi adalah tukang batu yang andal, selalu menunjukkan totalitas ketika bekerja. Meskipun sudah berumur, Mardi masih mampu menjaga fokus dan kualitas kerjanya. Bambang sedih mendengar pengunduran diri bawahannya itu.
“Pak Mardi, saya akan sangat kehilangan. Namun, saya menghormati pilihan Bapak,” kata Bambang. “Bapak boleh pensiun dari tukang batu.”
“Terima kasih, Pak.”
“Sebelum Pak Mardi benar-benar
tidak lagi menjadi tukang batu, saya punya satu permintaan. Mau kan Bapak
menyanggupi permintaan saya?” tanya Bambang.
“Baik, Pak. Saya akan turuti
permintaan Bapak,” sahut Mardi. “Kalau boleh saya tahu, apa permintaan Bapak?”
“Untuk terakhir kali, tolong Pak
Mardi buatkan rumah terbaik untuk teman saya.”
Mardi terdiam. Dia benar-benar
sudah tak mau lagi membuat rumah. Namun, dia sudah terlanjur berjanji. Lagipula,
Bambang sangat berjasa memberi pekerjaan dan mempercayainya. Mardi tak bisa
menolak permintaan Bambang.
Dengan terpaksa, Mardi membangun
rumah itu. Tidak seperti sebelum sebelumnya, kali ini Mardi tanpa semangat. Hatinya sudah
tidak lagi menemani dia bekerja. Mardi tak lagi peduli dengan kualitas kerja.
Juga tidak peduli dengan kualitas bahan-bahan bangunan. Yang penting dia
kerjakan rumah itu sampai selesai.
Rumah itu pun jadi. Mardi sangat
tidak puas. Jauh sekali kualitasnya dengan rumah-rumah lain yang telah dia
bangun. Namun, dia lega karena sekarang benar-benar bisa meninggalkan dunia
pertukangbatuan. Ironis, karya terakhirnya sungguh tidak membuat bangga.
Bambang datang membawa sebuah
amplop. Dia berkata kepada Mardi, “Ini surat-surat rumah terakhir yang Pak
Mardi buat. Dari awal, saya berniat memberikan rumah ini buat Bapak.”
--------------- Refleksi ------------
Kita juga mengalami perasaan
seperti Mardi. Ada masa ketika kita kehilangan minat, atau setidak berkurang,
dengan pekerjaan kita. Malas berangkat ke sekolah atau berat sekali menyusun
program pembelajaran.
Meski hal seperti itu manusiawi,
tetapi kita harus terus sadar bahwa berkurang (bahkan, hilangnya) minat
melakukan pekerjaan akan membuat kita tidak mampu memberikan yang terbaik.
Benar kan? Tidak akan mungkin bisa memberikan yang terbaik kalau dikerjakan
tanpa minat. Yang ada adalah asal-asalan. Yang penting gugur kewajiban. Berapa
sering kita seperti ini?
Ketika menjalani tugas sebagai
guru sekadar untuk menggugurkan kewajiban, kita sangat mudah kehilangan standar
dan komitmen untuk berpihak kepada murid. Kualitas tidak lagi jadi sesuatu yang
diperhatikan.
Tidak mau kan menjadi guru yang
mengabaikan kualitas pembelajaran, yang juga berarti tidak berpihak kepada
murid? Tidak kan?
Cara sederhana supaya terhindar
dari kehilangan minat adalah selalu mengerahkan kemampuan terbaik. Totalitas.
Kalau itu selalu kita lakukan, sebenarnya kita sedang peduli pada orang lain.
Jelas sekali, pekerjaan kita sangat berhubungan dengan orang lain. Bahkan,
dampak bisa dalam jangka panjang dan lama.
Mempunyai kesadaran penuh dan
utuh bahwa kerja kita berhubungan erat dengan orang lain akan membuat kita
memberi perhatian kepada diri kita. Kita akan bertanya: Bagaimana supaya
berdampak? Sebaiknya seperti apa? Apa yang yang harus diperbaiki atau
ditingkatkan? dan pertanyaan-pertanyaan reflektif lainnnya. Berusaha
mempertahankan minat berarti kita peduli pada diri sendiri dan peduli pada
orang lain.
Satu hal yang tidak boleh
dilupakan: apa yang kita kerjakan dan bagaimana kita melakukannya akan kembali
kepada diri kita. Kalau asal-asalan menjadi guru, ya… akibatnya akan kita
rasakan. Ketika memberikan yang terbaik, manisnya akan sampai ke kita juga.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh : Suhud Rois
❤Mari Berbagi dan Tumbuh Bersama❤
#BergerakBermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar