Kamis, 21 April 2022

Totalitas

 

“Pak, saya berniat berhenti dari pekerjaan ini,” kata Mardi. “Saya sudah tidak seperti dulu lagi. Fisik saya sudah jauh melemah. Sudah saatnya saya lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga.”

Bambang tercenung. Mardi adalah tukang batu yang andal, selalu menunjukkan totalitas ketika bekerja. Meskipun sudah berumur, Mardi masih mampu menjaga fokus dan kualitas kerjanya. Bambang sedih mendengar pengunduran diri bawahannya itu.

“Pak Mardi, saya akan sangat kehilangan. Namun, saya menghormati pilihan Bapak,” kata Bambang. “Bapak boleh pensiun dari tukang batu.”


“Terima kasih, Pak.”


“Sebelum Pak Mardi benar-benar tidak lagi menjadi tukang batu, saya punya satu permintaan. Mau kan Bapak menyanggupi permintaan saya?” tanya Bambang.


“Baik, Pak. Saya akan turuti permintaan Bapak,” sahut Mardi. “Kalau boleh saya tahu, apa permintaan Bapak?”


“Untuk terakhir kali, tolong Pak Mardi buatkan rumah terbaik untuk teman saya.”


Mardi terdiam. Dia benar-benar sudah tak mau lagi membuat rumah. Namun, dia sudah terlanjur berjanji. Lagipula, Bambang sangat berjasa memberi pekerjaan dan mempercayainya. Mardi tak bisa menolak permintaan Bambang.


Dengan terpaksa, Mardi membangun rumah itu. Tidak seperti sebelum sebelumnya, kali ini Mardi tanpa semangat. Hatinya sudah tidak lagi menemani dia bekerja. Mardi tak lagi peduli dengan kualitas kerja. Juga tidak peduli dengan kualitas bahan-bahan bangunan. Yang penting dia kerjakan rumah itu sampai selesai.


Rumah itu pun jadi. Mardi sangat tidak puas. Jauh sekali kualitasnya dengan rumah-rumah lain yang telah dia bangun. Namun, dia lega karena sekarang benar-benar bisa meninggalkan dunia pertukangbatuan. Ironis, karya terakhirnya sungguh tidak membuat bangga.


Bambang datang membawa sebuah amplop. Dia berkata kepada Mardi, “Ini surat-surat rumah terakhir yang Pak Mardi buat. Dari awal, saya berniat memberikan rumah ini buat Bapak.”

 

--------------- Refleksi ------------

Kita juga mengalami perasaan seperti Mardi. Ada masa ketika kita kehilangan minat, atau setidak berkurang, dengan pekerjaan kita. Malas berangkat ke sekolah atau berat sekali menyusun program pembelajaran.


Meski hal seperti itu manusiawi, tetapi kita harus terus sadar bahwa berkurang (bahkan, hilangnya) minat melakukan pekerjaan akan membuat kita tidak mampu memberikan yang terbaik. Benar kan? Tidak akan mungkin bisa memberikan yang terbaik kalau dikerjakan tanpa minat. Yang ada adalah asal-asalan. Yang penting gugur kewajiban. Berapa sering kita seperti ini?


Ketika menjalani tugas sebagai guru sekadar untuk menggugurkan kewajiban, kita sangat mudah kehilangan standar dan komitmen untuk berpihak kepada murid. Kualitas tidak lagi jadi sesuatu yang diperhatikan.


Tidak mau kan menjadi guru yang mengabaikan kualitas pembelajaran, yang juga berarti tidak berpihak kepada murid? Tidak kan?


Cara sederhana supaya terhindar dari kehilangan minat adalah selalu mengerahkan kemampuan terbaik. Totalitas. Kalau itu selalu kita lakukan, sebenarnya kita sedang peduli pada orang lain. Jelas sekali, pekerjaan kita sangat berhubungan dengan orang lain. Bahkan, dampak bisa dalam jangka panjang dan lama.


Mempunyai kesadaran penuh dan utuh bahwa kerja kita berhubungan erat dengan orang lain akan membuat kita memberi perhatian kepada diri kita. Kita akan bertanya: Bagaimana supaya berdampak? Sebaiknya seperti apa? Apa yang yang harus diperbaiki atau ditingkatkan? dan pertanyaan-pertanyaan reflektif lainnnya. Berusaha mempertahankan minat berarti kita peduli pada diri sendiri dan peduli pada orang lain.


Satu hal yang tidak boleh dilupakan: apa yang kita kerjakan dan bagaimana kita melakukannya akan kembali kepada diri kita. Kalau asal-asalan menjadi guru, ya… akibatnya akan kita rasakan. Ketika memberikan yang terbaik, manisnya akan sampai ke kita juga. Wallahu a’lam bishawab.


Oleh : Suhud Rois


❤Mari Berbagi dan Tumbuh Bersama❤

#BergerakBermanfaat

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar