Selasa, 24 Januari 2023

Fenomena Sertifikat 32 Jp

32 Jp sebenarnya bukan masalah sederhana dikalangan guru, terutama di kalangan penyelenggara pelatihan karena akan menjadi tuntutan dan pertangung jawaban kelak di dunia pun di akherat.

Memang benar bahwa tuntutan sertifikat 32 Jp sudah menjadi instrumen, misalnya naik pangkat golongan. Kemudian, sertifikat tersebut juga diperlukan untuk menjadi pendukung dalam penilaian guru berprestasi, juga digunakan dalam kegiatan pendidikan profesi. Bukti tersebut wajib tercantum di portofolio supaya bisa di nilai.

Tapi mengapa seolah-olah ada kewajiban 32 Jp? Kok tidak 28 Jp, 30 Jp, 31 Jp, 33 Jp atau 37 Jp? hal ini sangat berbahaya apabila telah menjadi sydrom dikalangan para guru. 

Fenomena 32 JP ini menarik untuk dibahas. Karena tidak semua memahami keperluan akan 32 Jp. Bahkan ada pula yang tidak mengerti mengapa harus 32 jp. Pun mungkin di/terpaksa dengan 32 Jp

Berdasarkan buku 4 pedoman pengembangan keprofesian berkelanjutan ternyata ada klasifikasi jam pelaksanaan pelatihan/bimtek berikut pula Angka Kreditnya, seperti tabel berikut:


Jadi memperhatikan secara seksama dan mencermati tabel tersebut tidak wajib pemenuhan 32 Jp, melainkan 30 Jp atau kurang dari 80 Jp pun memiliki nilai angka kredit yang sama dengan 32 Jp.

Persoalan kompetensi guru dan penyelenggaraan pelatihan yang bermutu juga sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan dengan baik dan bertanggung jawab. memnag benar, dengan kemajuan teknologi penyelenggaraanya dapat menggunakan berbagai platform seperti Learning Manajemen System (LMS). Namun masih harus dikawal betul pelaksanaannya oleh penyelenggara. Kalau misalnya kita tidak hadir, maka akan ditelepon, di sms, sehingga sertifikat yang kita peroleh dapat dipertanggungjawabkan, berdampak mutu dan berkualitas bagi peserta. Begitu juga penyelenggara dapat dikatakan memiliki integrtitas.

Begitu juga kapasitas instruktur dan teamwork juga memengaruhi kualitas suatu pelatihan guru. Semakin sedikit dan kompeten jumlah instruktur, maka akan semakin mumpuni pendampingan untuk pengembangan kompetensi guru.

Contoh lainnya misalnya Microsoft Educater Community. Tesnya yaitu membaca, lalu jawab soal, kemudian keluar sertifikat. Sebenarnya yang jadi masalah yaitu sertifikat guru di Indonesia menggunakan ukuran jam. Karena, kalau misalnya kita memperoleh penghargaan dari luar (negeri), misalnya dari microsoft, itu tidak ada kata jam. 

Kompetensi guru 32 jam menimbulkan polemik, terlebih jika menggunakan sistem daring. Hal ini menjadi tugas bagi Kemendikbudristek untuk mempersempit kembali definisi pelatihan guru luring dan daring.

Kalau di Indonesia wajib ada stempel, lalu tertera 32 jam, kalau tidak maka tidak dihitung angka kredit. ini yang sebenarnya menjadi polemik, apakah benar 32 jam sudah memberikan kita sebuah kecakapan yang dituntut itu? Apalagi pelatihan online yang mengerjakan soalnya bisa orang lain.

Mari tetap konsisten menjadi penyelenggara pelatihan/diklat/bimtek yang JUJUR dan AMANAH serta benar-benar berdampak pada kompetensi guru. Untuk guru juga lebih selektif dalam mengikuti kegiatan pelatihan/diklat/bimtek.

Mari Berbagi dan Tumbuh Bersama
#BergerakBermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar