Bukan perkara gampang ternyata hidup di posisi saya saat ini. Saya datang dari generasi kolonial, tetapi hidup di zaman milenial. Tiap hari tergagap-gagap dengan kepungan informasi. Energi terkuras untuk terus-menerus memilah, memilih dan menganalisis data dan informasi, mana yang benar, mana yang hoax. Belum lagi mencermati mana tulisan yang satir. Sesekali terjebak juga saya postiing berita dan gambar hoax, padahal sudah berusaha hati-hati, masih saja kecolongan.
Doc. Bersama Bpk. Agus Susilohadi lokasi: di depan Gg. D Kemdikbudristek |
Anak
saya juga heran mendengar kisah saya dahulu menyusun skripsi. Berburu ke
berbagai perpustakaan atau toko buku hanya sekedar mencari satu pengertian
tentang sesuatu. Kadang perjuangannya berhari-hari harus membaca puluhan buku,
baru bertemu yang dicari, itupun jika beruntung. Tapi memang tidak ada pilihan
lain, itu harus saya lakukan. Bayangkan waktu berhari-hari dan menghabiskan
energi itu bakal selesai di ujung jari anak saya mungkin hanya beberapa menit
dengan fasilitas teknologi komunikasi saat ini. Waktu dan energi lainnya sudah
dipakai lagi untuk eksplorasi seabrek pengetahuan lain ketika mahasiswa zaman
saya baru mendapatkan secuil pengetahuan.
Artinya,
masalah generasi mendatang bukanlah kekurangan ilmu. Apapun yang ingin mereka
ketahui tinggal klik, lalu bakal tergelar melimpah informasi di hadapan. Yang
diperlukan adalah kemampuan berpikir untuk mengolah atau memproses semua data
dan informasi secara kritis dan bijak.
Kampus,
sekolah dan pendidik harus merombak metode pembelajaran. Apalagi ilmu
pengetahuan juga terus berkembang. Banyak temuan baru, sehingga ilmu lama jadi
obsolate, usang, tidak berlaku lagi. Siapa sangka teknologi hape yang 20 tahun
lalu saya kenal hanya mampu dipakai SMS dan nelpon, sekarang sudah menjelma
menjadi benda ajaib yang makin mengerikan. Mampu menyajikan nyaris keperluan
hidup kita dari keperluan kesehatan, transaksi keuangan, berbagai hiburan,
belanja, bersosmed, ngatur jadwal, kegiatan rapat, belajar, webinar, panduan
masak, menghitung langkah, navigasi perjalanan, foto, video, capek nyebutinya…
Kita
tak pernah tahu lagi, seperti apa nanti hape di tangan kita sekarang ini pada
generasi 10, 20, 30 tahun mendatang. Pasti akan terjadi sesuatu di luar dugaan.
Pertanyaan yang membuat saya susah tidur adalah, jika membayangkan masa depan
saja kita tidak mampu, bagaimana bisa orang tua dan guru mampu memberi bekal
kepada anak-anak untuk menghadapi masa depan mereka? Bekal mana yang harus kita
berikan, toh semua serba cepat basi cepat usang. Untuk apa memberi bekal basi?
Sekedar
sebagai inspirasi, mungkin cara ini yang paling bijak. Ajarkan mereka thinking
skill, bukan menghafal. Ubah komposisi pembelajaran menjadi 30 persen materi
pelajaran dan 70 persen berlatih berpikir. Penting juga untuk diajarkan inquiry
learning (kecakapan bertanya). Dengan skill bertanya yang baik anak-anak akan
mendapatkan banyak ilmu. Ingat, seorang Najwa Shihab juga nggak akan hebat dan
mendapatkan informasi berharga seperti itu kalau nggak pinter nanya.
Materi
pelajaran tetap diajarkan, tetapi sekedar sebagai materi bahasan atau bahan
diskusi saja, kemudian selebihnya diarahkan untuk mengembangkan nalar dan
keterampilan berpikir.
Jika ‘processor’ di kepala anak sudah jadi, maka mereka dengan sendirinya akan siap memproses apa saja, memikirkan dan merenungkan apa saja yang dihadapi. Mereka akan siap adaptif menghadapi perubahan zaman apapun, yang kita para guru dan orang tua saat ini tidak mampu membayangkan. Intinya sekali lagi, berilah anak-anak thinking skill, bukan kemampuan menghafal.
Terakhir, jangan lagi kita memberi nasihat jadul kepada anak.
”Nak,
belajar yang rajin agar kelak kamu bisa menjadi gudang ilmu”.
Orang
tua milenial harus lebih cerdas menasihati:
”Nak,
belajar yang rajin agar kelak kamu bisa menjadi pabrik ilmu”.
Sebagai
pabrik tentu mampu memproses dan memproduksi karya yang relevan dengan eranya,
sedangkan sebagai gudang cukuplah kita serahkan kepada mbah google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar