Kamis, 21 Oktober 2021

Refleksi: Berfikir Vs Menghafal

Bukan perkara gampang ternyata hidup di posisi saya saat ini. Saya datang dari generasi kolonial, tetapi hidup di zaman milenial. Tiap hari tergagap-gagap dengan kepungan informasi. Energi terkuras untuk terus-menerus memilah, memilih dan menganalisis data dan informasi, mana yang benar, mana yang hoax. Belum lagi mencermati mana tulisan yang satir. Sesekali terjebak juga saya postiing berita dan gambar hoax, padahal sudah berusaha hati-hati, masih saja kecolongan.

Doc. Bersama Bpk. Agus Susilohadi
lokasi: di depan Gg. D Kemdikbudristek

Tiba-tiba saya jadi ngeri membayangkan generasi anak saya, dalam usia belianya dia sudah dibanjiri berbagai informasi bak air bah. Sesekali tergagap juga saya mendapat pertanyaan dan protes tak terduga. Anak kemarin sore itu sudah bisa mengamati hal-hal yang mustahil terpikir oleh mahasiswa generasi saya dulu. Soal e-government, misalanya. Menurut dia beberapa matakuliah yang diajarkan di kampus sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi terkini. Tentang sistem pengawasan jadul, sistem pertanggungjawaban keuangan negara jadul, layanan masyarakat jadul, dst. Dari mana dia mendapatkan referensi pemikiran out of the box semacam ini?

Anak saya juga heran mendengar kisah saya dahulu menyusun skripsi. Berburu ke berbagai perpustakaan atau toko buku hanya sekedar mencari satu pengertian tentang sesuatu. Kadang perjuangannya berhari-hari harus membaca puluhan buku, baru bertemu yang dicari, itupun jika beruntung. Tapi memang tidak ada pilihan lain, itu harus saya lakukan. Bayangkan waktu berhari-hari dan menghabiskan energi itu bakal selesai di ujung jari anak saya mungkin hanya beberapa menit dengan fasilitas teknologi komunikasi saat ini. Waktu dan energi lainnya sudah dipakai lagi untuk eksplorasi seabrek pengetahuan lain ketika mahasiswa zaman saya baru mendapatkan secuil pengetahuan.

Artinya, masalah generasi mendatang bukanlah kekurangan ilmu. Apapun yang ingin mereka ketahui tinggal klik, lalu bakal tergelar melimpah informasi di hadapan. Yang diperlukan adalah kemampuan berpikir untuk mengolah atau memproses semua data dan informasi secara kritis dan bijak.

Kampus, sekolah dan pendidik harus merombak metode pembelajaran. Apalagi ilmu pengetahuan juga terus berkembang. Banyak temuan baru, sehingga ilmu lama jadi obsolate, usang, tidak berlaku lagi. Siapa sangka teknologi hape yang 20 tahun lalu saya kenal hanya mampu dipakai SMS dan nelpon, sekarang sudah menjelma menjadi benda ajaib yang makin mengerikan. Mampu menyajikan nyaris keperluan hidup kita dari keperluan kesehatan, transaksi keuangan, berbagai hiburan, belanja, bersosmed, ngatur jadwal, kegiatan rapat, belajar, webinar, panduan masak, menghitung langkah, navigasi perjalanan, foto, video, capek nyebutinya…

Kita tak pernah tahu lagi, seperti apa nanti hape di tangan kita sekarang ini pada generasi 10, 20, 30 tahun mendatang. Pasti akan terjadi sesuatu di luar dugaan. Pertanyaan yang membuat saya susah tidur adalah, jika membayangkan masa depan saja kita tidak mampu, bagaimana bisa orang tua dan guru mampu memberi bekal kepada anak-anak untuk menghadapi masa depan mereka? Bekal mana yang harus kita berikan, toh semua serba cepat basi cepat usang. Untuk apa memberi bekal basi?

Sekedar sebagai inspirasi, mungkin cara ini yang paling bijak. Ajarkan mereka thinking skill, bukan menghafal. Ubah komposisi pembelajaran menjadi 30 persen materi pelajaran dan 70 persen berlatih berpikir. Penting juga untuk diajarkan inquiry learning (kecakapan bertanya). Dengan skill bertanya yang baik anak-anak akan mendapatkan banyak ilmu. Ingat, seorang Najwa Shihab juga nggak akan hebat dan mendapatkan informasi berharga seperti itu kalau nggak pinter nanya.

Materi pelajaran tetap diajarkan, tetapi sekedar sebagai materi bahasan atau bahan diskusi saja, kemudian selebihnya diarahkan untuk mengembangkan nalar dan keterampilan berpikir.

Jika ‘processor’ di kepala anak sudah jadi, maka mereka dengan sendirinya akan siap memproses apa saja, memikirkan dan merenungkan apa saja yang dihadapi. Mereka akan siap adaptif menghadapi perubahan zaman apapun, yang kita para guru dan orang tua saat ini tidak mampu membayangkan. Intinya sekali lagi, berilah anak-anak thinking skill, bukan kemampuan menghafal. 

Terakhir, jangan lagi kita memberi nasihat jadul kepada anak.

”Nak, belajar yang rajin agar kelak kamu bisa menjadi gudang ilmu”.

Orang tua milenial harus lebih cerdas menasihati:

”Nak, belajar yang rajin agar kelak kamu bisa menjadi pabrik ilmu”.

Sebagai pabrik tentu mampu memproses dan memproduksi karya yang relevan dengan eranya, sedangkan sebagai gudang cukuplah kita serahkan kepada mbah google.

 )* Ayahanda Agus Sulilohadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar