Jujur adalah mulia. Bagi seorang guru, kejujuran ibarat mahkota yang menghiasi kepalanya. Jika kehilangan sifat jujur, ia akan kehilangan kepercayaan dari para murid. Sikap jujur guru akan selalu diuji sepanjang hidupnya. Tetap jujur atau berbohong, itu bergantung pada pilihan guru. Guru yang konsisten bersikap jujur, pintu kebaikan terbuka. Sebaliknya, guru yang tak jujur, pintu keburukan yang akan terbuka baginya.
Fu'ad Asy Syalhub (2006) dalam bukunya Guruku Muhammad menguraikan kisah hikmah tentang pentingnya guru berlaku jujur. Syekh Muhammad Jamil Zainu berkata, "Suatu ketika ada seorang murid bertanya kepada gurunya tentang guru lainnya yang merokok. Untuk membela temannya, guru tersebut menjawab bahwa merokok dilakukan karena nasihat dari dokternya. Ketika murid-murid keluar dari kelas, murid yang bertanya itu berkata, "Pak guru telah membohongi kita!"
Muhammad Jamil berkata, "Andai guru itu jujur dalam menjawab dan menjelaskan kesalahan
temannya bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan tubuh, mengganggu orang lain,
menghabiskan uang, tentu ia akan mendapatkan kepercayaan dan cinta dari murid-muridnya.
Sebenarnya, guru tersebut bisa saja mengatakan kepada murid-muridnya bahwa guru
yang merokok itu manusia biasa yang bisa benar dan bisa pula berlaku salah."
Dalam situasi lainnya, guru pun akan diuji
kejujurannya saat ditanya tentang suatu ilmu oleh para murid yang tidak dia ketahui
jawabannya. Karena gengsi dicap tak tahu, ada guru yang terpaksa berbohong. Dia
tetap memberikan jawaban atas pertanyaan murid tanpa didasari ilmu.
Hal ini tak bisa dibenarkan. Jawaban guru bisa
menimbulkan kekeliruan pemahaman kepada para murid. Meski awalnya para murid
dapat ditipu oleh guru mereka dengan informasi yang salah untuk menutupi
kekurangan dirinya, lambat laun para murid akan mengetahui kesalahan gurunya.
Guru tersebut akan dicap cacat oleh murid-muridnya. Akhirnya, murid-murid tak
akan memercayai lagi ilmu yang disampaikan guru mereka.
Guru yang berkata 'aku tidak tahu' bukanlah sebuah aib. Jika guru memang tak
mengetahui suatu ilmu dan jujur mengakuinya, hal ini tak menunjukkan tanda
kekurangan ilmunya, tapi justru menunjukkan kesempurnaan ilmunya. Guru seperti
ini bisa mencegah kesesatan ilmu karena ucapannya tak berdasarkan pemahaman
ilmu yang dimilikinya.
Al-Mawardi dalam kitab Adabnya mengatakan,
"Jika tak mengetahui suatu ilmu, bukanlah suatu hal yang menjadi aib untuk
mengatakan tidak mengetahui sebagian ilmu. Jika mengakui kebodohan atas
sebagian ilmu, bukanlah suatu aib mengatakan, 'aku tak tahu' pada suatu hal
yang ia memang benar-benar tidak mengetahuinya."
Ilmu yang kita miliki hanya sebatas tepian lautan dan tak akan pernah sampai pada lautannya. Tak ada orang yang bisa menguasai seluruh ilmu, kecuali atas izin-Nya jika para malaikat saja tak pernah merasa malu mengakui keterbatasan ilmunya. (QS al-Baqarah: 31-32). Tak perlu malu atau merasa aib jika seorang guru mengatakan, 'aku tak tahu' pada suatu ilmu yang tak benar-benar diketahuinya. Wallahu a'lam bishawab.
Disadur
dari tulisan: Asep Sapa’at. Hikmah Dari Guru Yang Jujur. https://republika.co.id/berita/q59qs2430/hikmah-dari-guru-yang-jujur.
Diakses tanggal 3 Desember 2020.
Foto : https://kip.kapuaskab.go.id/berita/read/552/anatomi-kejujuran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar